![]() |
| Penulis : Anna Trifonia Tafuli (Mahasiswa Program Magister Pendidikan IPS Universitas Nusa Cendana, Kupang) |
MATALINENEWS.ID- Di tengah dinamika perkembangan teknologi yang begitu cepat, dunia pendidikan dituntut untuk beradaptasi dan merespons perubahan tersebut secara strategis. Salah satu transformasi terbesar pada era ini adalah hadirnya kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Kita sedang memasuki babak baru, di mana AI tidak lagi dipandang sebagai entitas asing, melainkan sebagai elemen penting yang dapat memperkaya ekosistem pendidikan Indonesia. Meskipun demikian, sebagian masyarakat masih melihat AI sebagai ancaman. Padahal, teknologi ini justru dapat berfungsi sebagai alat bantu yang sangat efektif bagi guru dan siswa. Kehadiran AI bukan bertujuan menggantikan manusia, melainkan memperkuat kapasitas manusia agar dapat bekerja dengan lebih optimal.
Dalam konteks pembelajaran, AI dapat berfungsi layaknya pendamping belajar yang selalu tersedia kapan pun dibutuhkan. Siswa dapat mengajukan pertanyaan, mencari penjelasan tambahan, atau memperoleh latihan soal secara instan. Dengan demikian, proses belajar tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu, tetapi dapat berlangsung secara berkelanjutan di mana saja dan kapan saja.
Bagi guru, manfaat AI tidak kalah signifikan. Teknologi ini mampu membantu melakukan koreksi tugas secara otomatis, mempersiapkan bahan ajar, hingga memberikan inspirasi kreatif untuk perencanaan pembelajaran. Dengan adanya dukungan tersebut, guru dapat menghemat waktu pada pekerjaan rutin dan mengalihkannya untuk fokus pada pendampingan langsung kepada siswa, terutama pada aspek afektif dan karakter yang hanya dapat dibentuk melalui interaksi manusiawi.
AI juga memungkinkan terwujudnya pembelajaran yang lebih personal. Hal ini selaras dengan konsep personalized learning yang diperkenalkan Benjamin Bloom, yang menegaskan bahwa setiap siswa dapat mencapai hasil belajar optimal apabila memperoleh dukungan dan waktu belajar yang tepat. AI dapat berperan sebagai “asisten belajar cerdas” yang memahami kebutuhan tiap siswa, memetakan kelemahan mereka, dan memberikan rekomendasi belajar secara individual. Dalam situasi ini, guru bukan digantikan, melainkan diberdayakan untuk memainkan peran sebagai fasilitator dan tutor yang lebih efektif.
Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa AI bukanlah substitusi bagi peran guru. Guru tetap merupakan figur sentral yang menanamkan nilai, karakter, dan etika. AI hanya membantu mengurangi beban administratif, sehingga guru memiliki waktu yang lebih banyak untuk membangun hubungan interpersonal dan memberikan penguatan moral kepada siswa.
Bagi siswa, AI dapat menjadi sarana belajar mandiri yang memperkaya pengalaman belajar. Teknologi ini menyediakan akses terhadap contoh soal, simulasi interaktif, hingga penjelasan konsep yang dapat dipelajari secara fleksibel. Siswa yang cenderung malu atau takut bertanya di kelas pun dapat merasa lebih percaya diri ketika belajar dengan dukungan AI.
Lebih jauh, pemanfaatan AI memiliki implikasi positif terhadap inklusivitas pendidikan. Teknologi seperti text-to-speech, speech-to-text, dan penerjemah bahasa isyarat real-time memungkinkan siswa penyandang disabilitas untuk mendapatkan kesempatan belajar yang lebih setara. Dengan demikian, AI menjadi sarana yang membuka akses pendidikan bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan.
Meski memiliki potensi besar, penggunaan AI tetap harus dilandasi kebijaksanaan. Ketergantungan berlebihan pada teknologi berisiko menurunkan kemampuan berpikir kritis siswa. AI memang mampu memberikan jawaban, tetapi siswa tetap harus dilatih untuk memahami konsep, mengolah informasi, dan menarik kesimpulan secara mandiri. Guru dan siswa harus menempatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu kebenaran mutlak.
Pemerataan akses terhadap teknologi juga menjadi isu sentral. Pemerintah dan sekolah harus memastikan bahwa seluruh siswa mendapatkan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan teknologi digital. Tanpa pemerataan ini, pemanfaatan AI justru berpotensi memperlebar kesenjangan antara siswa yang memiliki fasilitas dan yang tidak. Selain itu, literasi digital harus diajarkan sejak dini agar siswa mampu menggunakan AI secara benar, aman, dan bertanggung jawab.
Penggunaan AI juga memiliki tantangan tersendiri, seperti risiko bias data, penyalahgunaan informasi, dan ketergantungan teknologi. Oleh karena itu, kurikulum masa depan perlu memuat pendidikan etika digital dan literasi AI, agar siswa mampu menentukan kapan teknologi harus digunakan, kapan harus dihentikan, dan bagaimana memverifikasi kebenaran informasi yang diberikan AI.
Pada akhirnya, pemanfaatan AI dalam pendidikan bukan sekadar upaya mengikuti tren global, tetapi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pembelajaran agar lebih efektif, menarik, dan relevan dengan kebutuhan abad ke-21. Merangkul AI sebagai sahabat berarti memahami bahwa teknologi hadir untuk melayani tujuan tertinggi pendidikan: memberdayakan setiap siswa agar mencapai potensi terbaiknya.
Melalui integrasi yang bijak dan etis, kita sedang membangun sebuah ekosistem pembelajaran yang lebih kuat, inklusif, dan berkesinambungan—sebuah pohon pengetahuan yang akarnya tertanam kokoh dan cabangnya tumbuh menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Penulis : Anna Trifonia Tafuli (Mahasiswa Program Magister Pendidikan IPS Universitas Nusa Cendana, Kupang)




