Salah satu ritual adat yang terus dipertahankan adalah “Taneng Maten Lurin”, yaitu proses penguburan kembali sisa-sisa tulang leluhur yang telah berumur puluhan hingga ratusan tahun. Ritual ini merupakan bentuk penghormatan, pemindahan, sekaligus penempatan tulang belulang ke tempat yang layak.
Jejak Cara Hidup Orang Terdahulu
Pada masa silam, jauh sebelum hadirnya ilmu pengetahuan modern, masyarakat Kedang memiliki cara tersendiri dalam memperlakukan jenazah. Mayat tidak langsung dikuburkan, melainkan diletakkan di atas dipan tinggi, setinggi orang dewasa, dan dibiarkan hingga bertahun-tahun sampai seluruh jasad berubah menjadi tulang belulang. Setelah itu, tulang-tulang tersebut baru disimpan dalam lubang batu besar sebagai bentuk pemakaman.
Penempatan mayat di tempat tinggi dilakukan demi keamanan dari binatang liar dan merupakan wujud penghormatan sesuai pengetahuan yang dimiliki masyarakat kala itu.
Perubahan Zaman, Tradisi Tetap Terjaga
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan pemahaman baru dalam tata cara penguburan modern, masyarakat Kedang kini mengetahui bahwa jenazah seharusnya dimakamkan di tanah. Namun demikian, ritual Taneng Maten Lurin tetap dijalankan sebagai bentuk pemulihan martabat leluhur yang tulangnya masih terserak di lubang-lubang batu.
Dalam keyakinan masyarakat Kedang, tulang yang masih terpapar hujan dan terik matahari dapat membawa “pari loyo nayo uya”—istilah yang merujuk pada ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga: sakit berkepanjangan, masalah yang datang beruntun, hingga musibah yang terjadi tanpa sebab jelas.
Mencari Jawaban dan Menyatukan Keturunan
Ritual ini biasanya diawali dengan proses pencarian penyebab masalah melalui “nehu rawe”, yakni konsultasi dengan molan maren (dukun kampung). Jika diketahui bahwa tulang belulang leluhur belum dikuburkan dengan semestinya, maka keluarga dari garis keturunan laki-laki (ine ame) dipanggil untuk bermusyawarah dan menentukan waktu pelaksanaan ritual.
Dua hari sebelum acara, seluruh keluarga berkumpul untuk mengunjungi tempat penyimpanan tulang, baik pihak laki-laki, perempuan, maupun dukun kampung. Apabila ada bagian tulang yang hilang, sesuai adat, ia diganti dengan kayu kering berukuran serupa.
Prosesi Penuh Haru dan Kebersamaan
Tulang belulang kemudian dibawa ke leu tuan (kampung lama) untuk disemayamkan semalam. Pada malam itu dilakukan ritual tutung padu, yaitu pembakaran sulu sebagai penerangan tradisional. Suasana malam penuh kehangatan, dipenuhi isak tangis haru, seakan-akan meratapi kepergian orang yang baru meninggal.
Esok harinya, prosesi penguburan dilaksanakan. Tulang dibalut dengan sarung dan kebaya bagi perempuan, serta sarung dan kemeja bagi laki-laki. Gong, gendang, serta tarian adat turut memeriahkan upacara, menandai kebersamaan keluarga besar dalam menghormati leluhur mereka.
Pemotongan hewan, gotong royong memasak, dan jamuan makan menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual, sekaligus mempererat hubungan kekeluargaan.
Ritual Taneng Maten Lurin bukan sekadar pemindahan tulang leluhur—ia adalah bentuk cinta, penghormatan, sekaligus pernyataan bahwa hubungan manusia dengan nenek moyangnya tak pernah putus oleh waktu.
Penulis: Sudarjo Abd. Hamid



