Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Antara Tradisi dan Modernitas: Jejak Paus dalam Realitas Sosial Lamalera – Lembata

Rabu, 19 November 2025 | November 19, 2025 WIB Last Updated 2025-11-19T15:27:01Z
antara-tradisi-dan-modernitas-jejak-paus-dalam-realitas-sosial-lamakera-lembata
Anna Trifonia Tafuli, mahasiswa Magister Pendidikan IPS Universitas Nusa Cendana, penulis opini tentang tradisi perburuan paus dan dinamika sosial masyarakat Lamalera–Lembata.

MATALINENEWS.ID
- Kunjungan mahasiswa Magister Pendidikan IPS Universitas Nusa Cendana ke Museum Daerah NTT pekan lalu menghadirkan pengalaman akademik yang tidak biasa. Di tengah ruang pameran yang temaram, para mahasiswa berhadapan langsung dengan fosil paus berukuran raksasa yang terdampar di Pantai Oeba pada dekade 1970-an. Fosil ini bukan sekadar objek museum, melainkan bukti bisu relasi panjang antara manusia dan laut di kawasan Nusa Tenggara Timur.


Perjumpaan itu memunculkan kesadaran penting tentang bagaimana laut bukan hanya ruang ekologis, tetapi juga ruang sosial yang membentuk identitas masyarakat pesisir. Fosil Oeba menjadi simbol memori ekologis yang menghubungkan masa lalu dan masa kini—bahwa laut selalu menjadi sumber pangan, sumber pengetahuan, sekaligus ruang budaya bagi masyarakat NTT.


Refleksi tersebut membawa mahasiswa pada diskusi tentang tradisi penangkapan paus di Lamalera, Lembata, salah satu komunitas pemburu paus tradisional yang paling dikenal di dunia. Tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini kerap menjadi perdebatan, terutama dalam konteks konservasi spesies paus secara global.


Namun memahami Lamalera tidak cukup hanya dengan melihat “tombak dan paus”. Perburuan di Lamalera adalah sistem sosial yang kompleks: ada struktur adat, ritus keagamaan, pembagian peran, serta aturan ekologis tradisional yang diwariskan turun-temurun. Musim melaut ditentukan secara adat, paus muda tidak boleh ditangkap, dan setiap bagian tubuh paus dibagi menurut struktur sosial yang telah disepakati. Semua ini menunjukkan adanya sistem konservasi berbasis kearifan lokal yang telah berjalan sebelum hadirnya regulasi modern.


Ironisnya, tantangan terbesar tradisi Lamalera justru datang dari luar, bukan dari dalam. Wisatawan dengan kamera ponsel, konten media sosial, serta perdebatan publik dari orang yang tidak mengenal konteks lokal, seringkali menyederhanakan tradisi itu hanya sebagai “pembunuhan paus”. Ritual yang dahulu sakral kini direkam, ditonton, bahkan dikomentari tanpa memahami filosofi adat yang menyertainya. Di sinilah arus modernitas mengubah cara masyarakat Lamalera dilihat dan dinilai.


Dalam perspektif akademik, persoalan ini menunjukkan bahwa isu konservasi tidak bisa dipisahkan dari dimensi sosial-budaya. Paus bagi Lamalera bukan sekadar hewan, tetapi simbol rezeki, hidup bersama, dan relasi manusia–alam. Ketika kebijakan konservasi dibuat tanpa memperhitungkan konteks sosial, maka konflik kepentingan akan muncul. Padahal, masyarakat lokal memiliki pengetahuan ekologis yang berharga—pengetahuan yang seharusnya menjadi bagian dari dialog kebijakan.


Fosil paus Oeba dan tradisi Lamalera seperti dua kutub cerita yang saling berkaitan. Yang satu adalah bagian dari sejarah yang membeku di museum, sementara yang lain adalah tradisi hidup yang terus berlangsung. Kedua kisah ini menegaskan bahwa laut adalah ruang identitas bagi masyarakat NTT, bukan sekadar sumber daya. Melalui keduanya, kita belajar bahwa tradisi dan konservasi bukan dua hal yang harus dipertentangkan.


Tantangan kita saat ini adalah menemukan titik temu antara menjaga keberlanjutan lingkungan dan mempertahankan warisan budaya. Dibutuhkan dialog yang adil antara pengetahuan modern dan kearifan lokal agar pengelolaan laut di NTT berjalan lebih bijaksana, berkelanjutan, dan menghargai identitas masyarakat.


Lamalera mengingatkan kita bahwa kebijakan lingkungan tidak boleh mengabaikan manusia yang hidup di dalamnya. Tradisi berburu paus bukan hanya tentang menangkap ikan besar, tetapi tentang relasi mendalam antara manusia, laut, dan adat. Sementara fosil paus Oeba menjadi pengingat bahwa hubungan itu telah berlangsung lama dan perlu dirawat dengan penuh kesadaran.


Perjumpaan antara dua jejak paus—yang membeku di museum dan yang masih hidup dalam praktik tradisi—mengajarkan satu hal: bahwa keberlanjutan sejati hanya dapat dicapai ketika tradisi budaya dan tanggung jawab ekologis berjalan seimbang, saling menghormati, dan dipahami dari konteks masyarakat yang menghayatinya.


Oleh: Anna Trifonia Tafuli (Magister Pendidikan IPS – Universitas Nusa Cendana)