Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Hari Tani: Dari Janji Reforma Agraria ke Realita Konflik Tanah

Rabu, 24 September 2025 | September 24, 2025 WIB Last Updated 2025-09-24T12:01:00Z

fathur_dopong
Penulis: Fathur Dopong (Aktivis Pemuda Muhammadiyah dan Penggiat Media Sosial)

MatalineNews
- Setiap 24 September kita memperingati Hari Tani Nasional. Namun, alih-alih menjadi momen syukur, peringatan ini lebih tepat disebut sebagai alarm keras: nasib petani Indonesia kian terpuruk. Di balik jargon “lumbung pangan dunia”, petani justru kehilangan tanah, kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, sementara modernisasi pertanian hanya menjadi retorika.


Petani Kehilangan Tanah


Kondisi paling nyata hari ini adalah menyusutnya kepemilikan lahan. BPS mencatat rata-rata petani hanya menguasai lahan di bawah 0,5 hektar. Banyak pula yang menjadi buruh tani atau penyewa, bukan pemilik. Proses land grabbing melalui ekspansi perkebunan besar, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur membuat petani tercerabut dari akar kehidupannya. Karl Marx menyebut kondisi ini sebagai alienasi: petani terasing dari tanah, tenaga, dan hasil kerjanya, karena semua dikendalikan oleh kepentingan modal.


Kebutuhan Dasar Tak Terpenuhi


Ironisnya, petani yang memproduksi pangan justru kesulitan memenuhi kebutuhan pangan keluarga mereka. Harga gabah tidak stabil, pupuk subsidi langka, layanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga petani minim. Jika kita pinjam teori kebutuhan Abraham Maslow, petani bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan dasar pangan, kesehatan, dan rasa aman. Bagaimana mungkin negara menuntut mereka meningkatkan produktivitas, jika kehidupan sehari-hari masih penuh ketidakpastian?


Petani Modern atau Petani Tergantung?


Istilah “petani modern” kerap didengungkan pemerintah. Namun, realitasnya, modernisasi sering hanya menambah ketergantungan pada korporasi penyedia benih, pupuk, dan teknologi. Padahal, sebagaimana dikemukakan Ester Boserup, modernisasi pertanian harus berbasis pada inovasi teknologi yang memperkuat kapasitas petani, bukan memperlemah kemandiriannya. Tanpa akses modal, pelatihan, dan kelembagaan yang berpihak, “modernisasi” hanya akan memperlebar kesenjangan antara petani kecil dan pemilik modal besar.


Landasan Hukum yang Diabaikan


Sebenarnya, Indonesia memiliki dasar hukum kuat untuk melindungi petani:


UUD 1945 Pasal 33 ayat (3): bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.


UUPA 1960: menegaskan pentingnya reforma agraria untuk pemerataan kepemilikan tanah.


UU Pangan 2012: menjamin hak rakyat atas pangan yang cukup, bergizi, dan terjangkau.


Namun, implementasi aturan-aturan ini kerap kalah oleh kepentingan investasi. Reforma agraria berjalan tersendat, bahkan sering diseret pada konflik agraria baru. Negara seolah kehilangan arah: berpihak pada modal, bukan pada petani.


Hari Tani: Momentum Kritik


Hari Tani Nasional tidak boleh berhenti sebagai seremoni. Ia harus menjadi ruang refleksi dan kritik. Jika tanah terus dikuasai segelintir pihak, jika kebutuhan dasar petani terus diabaikan, maka “kedaulatan pangan” hanya tinggal slogan kosong. Pembangunan pertanian semestinya ditempatkan sebagai pembangunan manusia, bukan sekadar produksi komoditas.


Petani bukan hanya mesin penghasil beras, jagung, atau kedelai. Mereka adalah penyangga peradaban bangsa. Kehilangan petani berarti kehilangan jati diri Indonesia sebagai negara agraris. Jika negara sungguh ingin menghormati Hari Tani, maka jalan satu-satunya adalah mengembalikan tanah dan kedaulatan pada mereka yang selama ini setia menumbuhkan kehidupan para petani kecil.


Penulis: Fathur Dopong (Aktivis Pemuda Muhammadiyah dan Penggiat Media Sosial)