![]() |
| Foto: Dalam wawancara eksklusif bersama Melianus Alopada, host Mataline News Sabtu (11/10) Hendrikus Djawa youtube matalinenews (dok.matalinenews) |
Kupang NTT – Ketua Umum Lembaga Pengawas Penyelenggara Trias Politika Republik Indonesia (LP2TRI), Hendrikus Djawa, menegaskan bahwa gerakan yang akan dilakukan pada 14 Oktober mendatang bukanlah aksi pemberontakan, melainkan bentuk perjuangan moral demi menuntut kejelasan dan keadilan bagi korban badai Seroja di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam wawancara eksklusif bersama Melianus Alopada, host Mataline News Sabtu (11/10) Hendrikus menjelaskan bahwa LP2TRI sejak awal telah memperjuangkan hak masyarakat terdampak Seroja sejak April 2021, tak lama setelah bencana melanda 21 kabupaten/kota di NTT.
“Kami sudah berjuang sejak 2021. LP2TRI mendata korban, membuka posko pengaduan, dan menyurati Presiden Joko Widodo. Dari Kementerian Sekretariat Negara dijelaskan bahwa bantuan Seroja sudah disiapkan melalui BNPB. Artinya semua masyarakat terdampak berhak mendapat bantuan,” ungkap Hendrikus.
Menurutnya, dari total anggaran Rp229 miliar lebih untuk Kabupaten Kupang, sebagian besar belum jelas penyalurannya. Ia menyebut, dari data yang diterima LP2TRI langsung dari BNPB, seharusnya bantuan diberikan kepada lebih dari 11.000 kepala keluarga, namun laporan di daerah menunjukkan hanya sekitar 10.000 penerima.
“Kami menduga ada selisih dana yang belum dapat dipertanggungjawabkan. Sampai hari ini tidak ada laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang sah. Artinya dana itu masih berada di rekening BRI,” ujarnya.
Hendrikus menilai, tiga pihak utama yang harus bertanggung jawab atas polemik ini adalah Bupati Kupang, Kepala BPBD Kabupaten Kupang, dan pihak Bank BRI sebagai penyalur dana bantuan.
“Dalam rapat dengar pendapat 11 September, Bupati menyalahkan BPBD, BPBD menyalahkan BRI, tapi BRI tidak pernah dihadirkan. Ini menunjukkan fungsi pengawasan DPR tidak berjalan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti klaim pemerintah daerah yang menyebut dana Seroja adalah anggaran pusat (APBN) yang tidak perlu dipertanggungjawabkan di daerah. Menurut Hendrikus, klaim itu keliru karena setiap dana publik wajib memiliki laporan pertanggungjawaban di tingkat daerah.
“DPRD Kabupaten Kupang sendiri melalui surat resmi tanggal 7 Oktober 2025 mengakui LPJ belum ada. Jadi masyarakat harus tahu, kalau LPJ tidak ada, maka bantuan tahap kedua tidak bisa disalurkan,” tambahnya.
Terkait langkah LP2TRI yang berencana menyegel kantor bupati pada 14 Oktober, Hendrikus menyebut tindakan itu sebagai langkah simbolik untuk mendesak transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
“Kami tidak berniat melakukan kekerasan atau pemberontakan. Ini perjuangan moral. Kami ingin bupati hadir, DPR hadir, BRI hadir, penegak hukum hadir. Kalau saya berbohong, saya siap dipenjara hari itu juga. Tapi kalau bupati yang berbohong, kantor bupati akan kami segel,” katanya tegas.
Menanggapi perubahan kepemimpinan daerah, Hendrikus menilai tanggung jawab tidak bisa hanya dibebankan kepada mantan bupati. Sebab, keputusan pencairan terakhir dilakukan oleh pejabat saat ini.
“Mantan bupati sudah kami laporkan ke KPK terkait kerja sama dengan BRI. Tapi tanggung jawab eksekusi anggaran tetap di tangan bupati yang sekarang,” jelasnya.
Hendrikus juga mengimbau Presiden Prabowo Subianto untuk menaruh perhatian serius terhadap kasus dugaan penyalahgunaan dana Seroja di NTT.
“Kami minta Presiden bentuk satgas khusus untuk menelusuri dana bantuan Seroja. Jika terbukti ada penyelewengan, pecat pejabat yang terlibat dan miskinkan koruptor. Jangan biarkan masyarakat korban Seroja terus menderita,” tegasnya.
Podcast tersebut ditutup dengan harapan agar pergerakan LP2TRI tetap damai dan pemerintah daerah terbuka terhadap dialog publik.
“Kami siap diskusi ilmiah terbuka tanggal 14 Oktober di ruang rapat Kabupaten Kupang. Mari hadapi persoalan ini dengan kepala dingin, bukan dengan propaganda atau tekanan politik,” pungkas Hendrikus Djawa. (Red)




