![]() |
| Penulis: Sudarjo Abd. Hamid – Guru dan Pegiat Literasi Lembata (ket.ilustrasi/matalinenews) |
MatalineNews- Kehidupan sosial kita hari ini begitu kompleks. Ekonomi, politik, hingga nilai-nilai moral terus bergeser seiring derasnya arus teknologi dan informasi. Dalam pusaran perubahan ini, guru berada di garis depan—menjadi saksi, sekaligus korban—dari lintasan zaman yang begitu cepat berubah.
Beberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh kabar seorang kepala sekolah yang dinonaktifkan karena menampar siswa yang kedapatan merokok. Orang tua murid tidak menerima perlakuan itu dan nyaris membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Peristiwa ini menggambarkan betapa rentannya posisi guru di masa kini.
Guru berada dalam situasi dilematis. Menegakkan disiplin bisa dianggap melanggar hak anak, namun membiarkan pelanggaran membuat karakter siswa kian liar. Guru ibarat buah simalakama—serba salah di hadapan publik, aturan, dan nuraninya sendiri.
Dulu, guru datang ke sekolah dengan sandal jepit, memanggul buku lusuh, berjalan kaki berkilo-kilometer. Namun, mereka disegani, dihormati tanpa syarat. Guru menjadi sosok yang ditakuti sekaligus dicintai. Panggilan “pahlawan tanpa tanda jasa” benar-benar hidup dalam keseharian mereka. Kini, penghormatan itu seolah pudar. Guru kehilangan ruang untuk menjadi teladan yang penuh wibawa.
Kehidupan guru masa lalu memberi teladan sederhana: gaji kecil, fasilitas minim, tapi wibawa besar. Murid-murid mereka sadar bahwa tanpa restu guru, ilmu takkan membawa berkah. Ketika guru sakit, murid datang menjenguk dengan sukarela. Saat rumah guru bocor, mereka gotong royong memperbaikinya. Ada nilai keikhlasan dan ketulusan yang tumbuh dalam hubungan guru dan murid.
Kini semua terasa berbeda. Guru dibatasi oleh undang-undang dan persepsi publik. Sentuhan disiplin bisa dianggap kekerasan, teguran bisa berujung laporan hukum. Guru kini lebih berhati-hati, bahkan cenderung menahan diri. Mengajar menjadi sekadar rutinitas: masuk kelas, menyampaikan materi, lalu pulang.
Teknologi mempercepat perubahan itu. Dulu, guru adalah satu-satunya sumber ilmu. Kini, siswa dapat mengakses pelajaran bahkan sebelum guru menjelaskannya. Mesin pencari, aplikasi, dan kecerdasan buatan seolah menjadi “guru baru” yang tak kenal lelah. Akibatnya, posisi guru perlahan tereduksi menjadi fasilitator, bukan lagi figur utama pembentuk karakter.
Inilah tantangan besar pendidikan kita: bagaimana menjaga marwah guru di tengah banjir informasi? Bagaimana menanamkan kembali rasa hormat, bahwa ilmu bukan sekadar data dan jawaban cepat, melainkan hasil dari proses, bimbingan, dan keikhlasan?
Guru zaman dahulu mencetak manusia berakhlak dengan alat seadanya. Hari ini, guru punya semua fasilitas, tetapi sering berakhir di meja laporan. Ada ironi di sana. Bukan karena guru berubah menjadi buruk, tetapi karena masyarakat kehilangan cara pandang tentang makna guru itu sendiri.
Mungkin benar, zaman telah berganti, tetapi seharusnya rasa hormat tak ikut bergeser. Sebab, secanggih apa pun teknologi, tidak ada mesin yang bisa menggantikan keikhlasan hati seorang guru.
Oleh: Sudarjo Abd. Hamid – Guru dan Pegiat Literasi Lembata




