MatalineNews — Siapa yang menyangka, jauh sebelum dunia mengenal istilah fashion designer, para leluhur di Flores, Nusa Tenggara Timur — khususnya masyarakat Ngada dan Nagekeo — telah lebih dulu menjadi perancang busana yang visioner. Mereka menciptakan Dese, rompi khas yang bukan hanya busana, tetapi juga simbol keberanian, status sosial, dan nilai budaya yang sarat makna.
Di masa lalu, Dese bukan sekadar pelengkap pakaian. Ia adalah lambang kehormatan bagi kaum lelaki — dikenakan hanya oleh panglima perang, pemburu tangguh, dan para petarung adat (Moi Etu/Sagi). Rompi ini menjadi tanda kejantanan dan kekuatan, sekaligus penanda posisi sosial dalam masyarakat. Kini, salah satu peninggalan autentik itu tersimpan rapi di Museum Daerah NTT, menjadi saksi bisu keagungan tradisi yang pernah hidup di tanah Flores.
Kesakralan dan Simbolisme Dese
Bahan pembuat Dese berasal dari serat kulit tanaman Zama, diolah dengan keterampilan tinggi dan penuh ritual. Proses pembuatannya tidak bisa dilakukan sembarangan — hanya kaum pria dari keluarga tertentu di Ndora, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo yang berhak membuatnya.
Lebih dari sekadar pakaian, Dese diyakini memiliki kekuatan magis dan nilai spiritual, sebab itulah kaum perempuan dilarang keras menyentuhnya. Dalam bahasa Ndora, Dese disebut Dhu, dan dahulu diperjualbelikan ke seluruh wilayah Ngada dan Nagekeo.
Motif-motif di permukaannya tidak sekadar ornamen. Ia adalah kode budaya — simbol tanggung jawab, peran sosial, dan kejantanan. Dengan demikian, Dese adalah karya seni tekstil yang memuat identitas dan martabat pemakainya.
Dari Rompi Perang ke Fashion Modern
Zaman berubah, namun esensi tetap hidup. Dalam dunia fashion modern, Dese bertransformasi menjadi vest atau rompi yang kini kita kenal luas. Dari pakaian perang, kini ia menjadi simbol gaya hidup elegan, praktis, dan minimalis.
Rompi modern tak lagi berbicara tentang kekuatan fisik, melainkan tentang ketegasan gaya dan kepercayaan diri. Ia menjadi lapisan tambahan yang fungsional, memperkaya tampilan tanpa berlebihan — seolah membawa filosofi lama yang dikemas dalam selera masa kini.
Filosofi Dese dan Gaya Minimalis Modern
Menariknya, nilai-nilai yang terkandung dalam Dese ternyata sejalan dengan tren fashion modern: quiet luxury — gaya yang menonjolkan kesederhanaan, kualitas, dan keanggunan tanpa perlu banyak bicara.
Beberapa filosofi yang melekat di dalamnya kini hidup kembali dalam busana kontemporer:
Kualitas dan Keserbagunaan.
Rompi yang baik dapat dipadukan dengan berbagai gaya, mengajarkan kita untuk berinvestasi pada kualitas, bukan kuantitas.
Efisiensi Gaya (Mengurangi “Decision Fatigue”).
Dengan pilihan busana yang sedikit tapi serbaguna, seseorang bisa tampil elegan tanpa membuang waktu memikirkan kombinasi pakaian setiap hari.
Kenyamanan dan Kepercayaan Diri.
Rompi dibuat dari bahan ringan dan fleksibel, membuat pemakainya nyaman — dan kenyamanan selalu memunculkan kepercayaan diri.
Gaya Abadi (Timeless Style).
Potongan rompi tradisional tak lekang waktu, menjadi investasi mode yang selalu relevan lintas generasi.
Ekspresi Diri yang Bersahaja.
Kesederhanaan desain justru menonjolkan kecanggihan. Tanpa banyak ornamen, justru terlihat kuat dan berkarakter.
Warisan yang Tak Pernah Usang
Pada akhirnya, Dese bukan sekadar pakaian tradisional, melainkan manifestasi nilai-nilai hidup: keberanian, kesederhanaan, dan kehormatan.
Kini, nilai itu bertransformasi menjadi filosofi busana modern — sederhana, berfungsi, dan penuh makna. Apa yang dahulu dibuat dengan semangat spiritual dan keberanian, kini hidup kembali sebagai simbol gaya hidup yang berkelas dan berkelanjutan.
Dese dari Ngada-Nagekeo mengajarkan bahwa tradisi dan modernitas bukan dua kutub yang bertentangan.
Keduanya bisa berjalan berdampingan: menjaga akar budaya, sambil melangkah mantap ke masa depan.
Karena sejatinya, gaya yang abadi adalah gaya yang punya cerita. Dan Dese — rompi para leluhur dari tanah Flores — adalah salah satu kisah terbaik yang pernah diwariskan kepada dunia.
Penulis; Erlinda Apriana



