Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Diskusi Publik : Masyarakat Adat Sumba Barat Mendukung Sabana Menjadi Ekosistem Esensial

Sabtu, 06 September 2025 | September 06, 2025 WIB Last Updated 2025-09-06T14:06:07Z

walhi_ntt_sumba_barat.jpg

Sumba Barat
- Diskusi Publik yang di inisiasi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangka menyongsong Pekan Nasional Lingkungan Hidup-WALHI (PNLH XIV) Menyoroti Pelestarian lingkungan, Adat istiadat dan Budaya masyarakat di pulau Sumba. Dalam sebuah diskusi ekologis bertajuk Urgensi Keadilan Ekologis digelar di Kampung Rate Wana, Bumi Pada Eweta Manda Elu, Kabupaten Sumba Barat, Jumat (5/9/2025).


Kegiatan ini menghadirkan tokoh adat, pemerintah, serta organisasi lingkungan yang membahas pentingnya menjaga budaya leluhur, lingkungan, dan kearifan lokal masyarakat Sumba.


Perwakilan Rato, Bapak Kornelis Bili dalam sambutan dan pemaparan materi diskusinya menyampaikan ucapan terimakasih untuk seluruh hadirin. Hari ini kita duduk bersama untuk diskusi tentang keadilan ekologis. Sehingga peranan masyarakat adat sangat penting untuk mengetahui bagaimana urgensi perubahan iklim kita hari ini. Sebagai salah satu contoh hutan Porolombu yang dulunya masih sangat luas dan menjadi salasatu penyangga kehidupan khususnya kita masyarakat disekitar akan tetapi hari ini sudah sangat rusak dan gundul, kalau kita tinggalkan terus maka suatu saat nanti bisa terjadi longsor. Jadi kami sebagai masyarakat adat yang ada disini sangat terancam jika krisis iklim ini kita biarkan terus terjadi.


Rato Kornelis juga menyampaikan berbagai ritual adat marapu yang kami lakukan, selalu mengutamakan keseimbangann lingkungan hidup. Kami memilih kayu untuk membangun rumah namanya lapale yang kekuatannya ratusan tahun, buktinya rumah saya sekarang kayu-kayunya masih dari jaman nenek saya dan saat ini masih kokoh tidak lapuk. Saya dan anak-anak saya masih menggunakan rumah yang kayu-kayunya dari ratusan tahun yang lalu, sehingga jika kita terus pelihara hutan kita yang kayu-kayunya lapale, makan sepanjang puluhan sampai ratusan tahun tidak ada penebangan pohon karena kayu-kayu asli dari tanah kita ini masih sangat awet. Berbeda dengan hari ini kita dipaksakan menanam mahoni dan jati yang kekuatanya hanya beberapa tahun sudah lapuk sehinga hampir setiap tahun selalu ada pemotongan kayu. Marilah para Rato generasi muda kita pulihkan dan jaga lingkunngan hidup kita. Tutup Rato Kornelis Bili. 


Direktur Wahana Lingkungan Hidup NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, S.Sos menyampaikan sambutanya dengan sapaan Wai Maringi Wai Malala dan disambut oleh hadirin dengan sapaan Maringina yang artinya kesejukan yang terus berlanjut.

 

Dalam paparannya, Umbu Wulang menegaskan bahwa ekologi, budaya, dan adat masyarakat Sumba saling berkaitan erat. Menurutnya, kerusakan alam akan melemahkan pelestarian budaya dan adat istiadat masyarakat Sumba. Karena itu, menjaga lingkungan berarti menjaga identitas orang Sumba. Ia menambahkan bahwa masyarakat harus bangga dengan budayanya sendiri, sembari menghidupkan kembali nilai-nilai pelestarian adat istiadat budaya Sumba dan lingkungan.


Kebudayan kita orang Sumba selalu disanjung oleh orang luar sana akan tetapi kebudayaan kita hanya berlaku pada urusan-urusan adat perkawinan dan kematian, kita melupakan kebudayaan atau adat istiadat tentang bagaimana menjaga teman hidup kita yaitu hutan, mata air, padang sabana, dan berbagai ternak local Sumba. Bahkan tradisi-tradisi pengkramatan hutan, air, tradisi Rotu atau moratorium dianggap kafir padahal tradisi tersebut sangan berdampak dalam melestarikan lingkungan hidup kita. Hal tersebut menjadi miris rasanya kalau kita biarkan terus berlanjut. Marilah kita kembali pada kearifan local kita dalam hal menjaga lingkungan dan lain sebagainya. 


WALHI NTT mengharapkan, hasil diskusi ini menjadi pendorong semangat pelestarian budaya dan lingkungan  agar seluruh masyarakat Sumba, khususnya masyarakat adat, tampil sebagai pelopor menjaga tanah leluhur, adat istiadat, dan alam di bumi tercinta pulau Sumba. Upaya ini dinilai penting untuk diwariskan kepada generasi sekarang dan generasi mendatang.


Hal lain soal tradisi pemerintahan kampung-kampung di Sumba disampaikan Umbu Wulang ada sistem pemerintahan yang hilang hanya karena kita menganut sistem pemerintahan Desa atau Ndeso yang asalnya dari jawa sehingga system pemerintahan desa dengan struktur birokrasinya tidaklah cocok dengan system pemerintahan kampung atau wanno, padahal kita dijamin undang-undang bahwasannya kita bisa kembali kepada system pemerintahan Wanno atau Praing yang berarti Kampung. Sehingga system pemerintahan Wanno/Praing yang memiliki kekhasan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dapat terlaksana dengan baik seperti tradisi rotu atau moratorium hutan dan lain- lain. "Adat istiadat Sumba pada umumnya adalah nilai tertinggi dalam peradaban orang sumba dari Matawai Amah Pada Njara Hamu, Tana Waikenana Loku Waikalala, Pada Eweta Manda Elu, Dan Loda Wee Maringi Pada Wee Malala," Tutup Umbu Wulang.


Paparan materi dari narasumber Yanto Behar Nggali Mara, SH, MH yang juga merupakan advokat masyarakat adat, menyampaikan bahwa Sabana merupakan ekosistem unik dengan keanekaragaman hayati tinggi, namun sering terabaikan dalam kebijakan konservasi. Di Pulau Sumba menjadi habitat penting bagi spesies endemik, serta memiliki nilai ekologis, budaya, dan ekonomi. Sayangnya, tekanan dari konversi lahan, kebakaran, dan perubahan iklim terus mengancam keberlanjutan ekosistem ini.


Untuk mendorong perlindungan sabana, terdapat sejumlah peluang hukum yang dapat dimanfaatkan. Salah satunya adalah penetapan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) berdasarkan Permen LHK No. P.29/2016. Selain itu, UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, perencanaan tata ruang (RTRW), skema perhutanan sosial, hingga penguatan lewat Perda dan insentif fiskal lingkungan juga dapat menjadi dasar hukum yang kuat. Upaya ini perlu didorong oleh Masyarakat Adat dan seluruh elemen terkait agar Sabana mendapat perlindungan yang setara dengan ekosistem lainnya.


Marthen Ragowino Bira Kepala Desa Tebara dalam paparan materinya mengajak peserta diskusi untuk menjaga kebersihan lingkungan dan mengupayakan peningkatan ekonomi masyarakat dari berbagai potensi kearifan local yang ada serta tidak meninggalkan berbagai tradisi masyarakat adat. 


Debora Rambu Kasuatu Ketua PW AMAN Sumba menyampaikan bahwa untuk terus memperkuat kesadaran kolektif dan berkelanjutan dalam mewariskan adat istiadat orang Sumba dalam berbagai hal khususnya dalam melestarikan keadilan ekologis, saya ingin mengajak semua Ama Ina untuk ajarlah anak-anak kita tentang sejarah peradaban leluhur dari awal kedatangan nenek moyang sampai di tanah Sumba hingga saat ini kita hidup, agar anak-anak bangga menjadi anak humba yang beradab yang setia menjaga tanah Humba serta seluruh ekosistem yang ada. Pesan lain juga disampaikan agar kampung – kampung adat kita baiknya harus ada standar kelistrikan yang aman dan nyaman, instalasi harus benar-benar aman agar tidak terjadi hal-hal atau tragedi kebakaran kampung adat yang sangat menyedihkan hati kita.


Wakil bupati Sumba Barat Thimotius Tede Ragga, S.Sos menyampaikan komitmen mendukung kegiatan-kegiatan seperti ini yang kembali memperkokoh kesadaran masyarakat adat pada khususnya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup berdasarkan kearifan lokal masyarakat. Dalam sambutanya Thimotius menegaskan kepada seluruh Rato dan peserta yang hadir agar mempertahankan ekosistem saat ini yang masih ada, adat istiadat khususnya dalam menjaga hutan, dan sumbar-sumber air kita. Adat istiadat kita tentu itu mengalir dari dalam pikiran dan hati setiap anak kampung seperti saya tandasnya. Saya adalah orang adat yang tentunya orang adat, pasti beradab sama seperti bapak ibu sekalian, karena dalam adat ada nilai tertinggi moralitas, etika, tahu menghargai sesama saudara saudari dan bahkan lingkungan hidup kita. Oleh karena ini saya sebagai Wakil Bupati mengajak kita sekalian dari tokoh-tokoh muda sampai bapak-bapak Rato termasuk kami Pemerintah. Kita harus jaga bumi ini, kampung kita, sehingga dari yang telah ditinggalkan nenek moyang kita yang sudah bagus, kita pertahankan untuk generasi masa depan. Kita semua lahir dari keluarga-keluarga adat yang beradab. Bagi generaasi muda ikuti saja perkembangan zaman yang ada tapi jangan pernah meninggalkan identitas kita sebagai orang Sumba yang beradat. Pesan Wakil Bupati Thimotius


Adapun penegasan lain yang  disampakan oleh Wabub Thimotius, akhir-akhir ini banyak sabana, hutan yang sulit kita pertahankan dan berdampak pada generasi masa depan kita. Oleh karena itu mari kita lestarikan kembali kita jaga, kita pertahankan bersama. Pertahankan ritual pengkramatan sumber-sumber air tanah adat itu harus dipertahankan karena itu milik suku bukan milik pribadi.


Wabub Thimotius juga mengajak semua generasi muda dan masyarakat agar tidak terprovokasi dengan kejadian demonstrasi diluar sana yang menyampaikan pendapat dengan anarkisme, merampok barang orang, merusak fasilitas publik. Sumba Barat harus damai dan aman. Sumba adalah Tana Besa Tana Bara yang artinya Tana Besa adalah Sumba tanah keramat, tana bara adalah tanah leluhur, tanah nenek moyang yang wajib kita jaga. 


Terakhir pesan Wabup Thimotius menyampaikan pesan tertulis sebagai berikut; “ kepada pemuda Sumba sebagai agen perubahan saya mengajak untuk berperan menjaga dan mempromosikan keadilan ekologis, saya berharap diskusi keadilan ekologis ini dapat menghasilkan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan keadilan ekologis di daerah, saya percaya bahwa kerjasama dan partisipasi aktif dari semua pihak dapat kita wujudkan keadilan ekologis menjaga lingkungan untuk generasi kita kedepan. Maringi Malala tutup Wabup Sumba Barat Thimotius sekaligus membuka dengan resmi diskusi masyarakat adat dengan tema Urgensi Keadilan Ekologis Di Pada Eweta Manda Elu.


Diskusi Ekologis tersebut turut menghadirkan pemateri lain, seperti Rato Ratewana Kornelis Bili (Ketua Marapu Sumba Barat), Debora Rambu Kasuatau (Ketua PH PW AMAN Sumba), Yulianto Behar Nggali Mara (WALHI NTT), dan Marthen Ragowino Bira, SS. (Kepala Desa Tebara) bersama perwakilan WALHI Nasional. Kehadiran mereka memperkuat semangat kolaborasi dalam pelestarian budaya dan ekologi.


Semua pihak menekankan hal yang sama dan diakhiri dengan membaca deklrasi masyarakat adat dalam mendukung Sabana Sebagai Ekosistem Esensial. Berikut isi deklarasinya kami (Komponen masyarakat adat pada Aweta Manda Elu yang terdiri dari pemuda-pemudi adat, organisasi kemasyarakatan lainnya dan komponen pemimpin menyatakan mendukung, memperjuangkan bentang alam Sabana menjadi ekosistem esensial yang dilindungi melalui Kementerian Lingkungan hidup Republik Indonesia) . Kesatuan harapan ditandai dengan menggendangkan  yell-yell khas budaya Sumba sebagai simbol kesatuan hati, moral dan tekad dalam  menjaga adat serta lingkungan. Seruan ini menegaskan komitmen masyarakat adat, pemerintah, dan organisasi lingkungan untuk melestarikan ekologi di Sumba. (Red)