Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Opini: Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr dalam Perspektif Sosial Budaya

Jumat, 19 September 2025 | September 19, 2025 WIB Last Updated 2025-09-19T01:19:34Z

opini_sufyanto_minggele.jpg
Fotlo: Sufyanto Minggele, S.Kom.,M.Si (Penukis adalah Ketua PW PerguNU NTT)

Kupang, NTT
- Indonesia menghadapi tantangan serius dalam bidang sosial budaya. Arus globalisasi yang datang begitu deras telah mengikis budaya lokal, bahkan mengaburkan tata nilai yang menjadi identitas bangsa. Produk-produk global diterima luas oleh masyarakat, sementara produk lokal justru terpinggirkan.


Dominasi budaya global yang sarat materialisme dan hedonisme melahirkan gejala demoralisasi. Fenomena ini tidak hanya melanda masyarakat umum, tetapi juga merambah ranah penyelenggara negara—dari politisi, militer, hingga lembaga peradilan. Kapitalisme global, melalui media informasi dan pasar bebas, menancapkan hegemoninya secara sistematis. Bangsa-bangsa dunia ketiga, termasuk Indonesia, sering kali terjebak dalam mental inferior, hanya menjadi konsumen budaya negara maju tanpa daya kritis.


Nilai Aswaja sebagai Basis Perlawanan


Dalam situasi demikian, diperlukan strategi budaya yang mampu menjadi penyeimbang sekaligus perlawanan terhadap arus globalisasi yang kian menguat. Salah satu strategi itu adalah menjadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sebagai dasar berpikir dan bertindak.


Aswaja tidak sekadar doktrin keagamaan, tetapi juga manhaj al-fikr—sebuah cara pandang yang mampu membimbing umat menghadapi problem sosial budaya dengan keseimbangan dan kearifan. Nilai-nilai seperti tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan ta’adul (keadilan) menjadi fondasi penting dalam menjaga harmoni, menguatkan budaya lokal, serta melindungi masyarakat dari dampak negatif globalisasi.


Negara, Pasar, dan Masyarakat


Posisi negara, pasar, dan masyarakat semestinya tidak dipahami sebagai pihak yang saling berhadap-hadapan. Ketiganya dapat berjalan sejajar, saling mengontrol, dan saling melengkapi. Namun kenyataannya, kebijakan negara sering kali berpihak pada kepentingan pasar global, sementara masyarakat lokal dirugikan.


Karena itu, perlu ada upaya serius untuk menjembatani aspirasi masyarakat terhadap negara. Di sinilah nilai-nilai Aswaja dapat memainkan peran strategis: menjadi pedoman moral agar kebijakan tidak hanya menguntungkan kapitalis global, tetapi juga berpihak pada rakyat, memperkuat budaya lokal, dan menjaga integritas sosial bangsa.


Menuju Rekayasa Sosial yang Berkeadilan


Berdasarkan kerangka tersebut, formulasi rekayasa sosial yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting. Dengan mengedepankan nilai-nilai Aswaja, dapat tercipta tatanan masyarakat partisipatif di mana negara, pasar, dan rakyat saling berhubungan secara relasional.


Dalam konteks ini, organisasi keagamaan maupun pendidikan memiliki peran strategis. Mereka dapat menjadi agen penghubung antara masyarakat, negara, dan pasar. Misalnya, Pergunu bisa hadir sebagai mediator dan agen transformasi yang memperjuangkan harapan masyarakat sekaligus menjawab kebutuhan zaman.


Ahlussunnah wal Jama’ah, bila dipahami sebagai manhaj al-fikr, bukan hanya menjaga tradisi keagamaan, tetapi juga menawarkan solusi menghadapi hegemoni global. Dengan berpegang pada nilai keseimbangan, toleransi, dan keadilan, Aswaja dapat menjadi benteng moral sekaligus basis pemberdayaan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi.


Oleh: Sufyanto Minggele, S.Kom.,M.Si (Penukis adalah Ketua PW PerguNU NTT)