Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Refleksi Kemerdekaan dari Sudut Pandang NTT dan Malaka

Senin, 18 Agustus 2025 | Agustus 18, 2025 WIB Last Updated 2025-08-18T14:55:02Z

refleksi-kemerdekaan-dari-sudut-pandang-ntt-dan-malaka
Foto: Istimewah

KOTA KUPANG
- Tahun 2025 menandai usia ke-80 tahun bagi Republik Indonesia. Sebuah usia yang tidak lagi muda, namun juga belum sepenuhnya tua. Usia 80 tahun bagi sebuah bangsa adalah momentum untuk berefleksi, sejauh mana cita-cita para pendiri bangsa diwujudkan, dan sejauh mana seluruh wilayah Nusantara, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, telah benar-benar merasakan makna kemerdekaan.


Di tengah gegap gempita perayaan nasional, penting untuk menengok refleksi dari daerah-daerah yang sering disebut sebagai “pinggiran” republik, salah satunya adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan khususnya Kabupaten Malaka. Daerah ini bukan hanya sekadar angka dalam peta pembangunan, tetapi bagian utuh dari perjalanan panjang bangsa. 


Refleksi kemerdekaan dari sudut pandang NTT dan Malaka membuka ruang perenungan: apakah kemerdekaan sudah menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk mereka yang jauh dari pusat kekuasaan?


NTT adalah salah satu provinsi yang kaya dengan potensi, baik dari aspek alam, budaya, maupun manusia. Namun, dalam banyak indikator pembangunan, provinsi ini masih masuk dalam kategori daerah tertinggal dibandingkan provinsi lain di Indonesia.


Masalah kemiskinan, keterbatasan infrastruktur, minimnya akses pendidikan, serta tantangan kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah besar.


Kabupaten Malaka, sebagai salah satu daerah otonomi baru (DOB) yang lahir pada tahun 2013, menyimpan cerita yang khas. Terletak di perbatasan dengan Timor Leste, Malaka memiliki posisi strategis dalam geopolitik dan ekonomi. Namun, hampir satu dekade setelah berdiri, tantangan pembangunan masih terasa berat. Infrastruktur jalan, akses listrik, air bersih, serta layanan kesehatan belum sepenuhnya merata.


Refleksi kemerdekaan ke-80 menjadi titik penting untuk menilai, apakah kemerdekaan benar-benar telah “turun” hingga ke Malaka dan NTT secara nyata, ataukah masih sebatas simbol dalam upacara peringatan tahunan?


Kemerdekaan diartikan bukan hanya sebagai lepas dari penjajahan, tetapi juga hadirnya keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan rakyat. Jika kita kembali ke Pembukaan UUD 1945, tujuan kemerdekaan adalah melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.


Dalam konteks NTT dan Malaka, refleksi atas tujuan itu menimbulkan sejumlah pertanyaan:


1. Apakah masyarakat NTT sudah terlindungi dari kerentanan pangan, bencana, dan kemiskinan struktural?


2. Apakah kesejahteraan umum sudah terwujud dengan adanya pemerataan pembangunan dan peningkatan taraf hidup?


3. Apakah masyarakat sudah mendapat akses pendidikan yang berkualitas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?


4. Apakah daerah perbatasan seperti Malaka sudah mendapat perhatian layak sebagai garda terdepan NKRI?


Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi relevan untuk menggali sejauh mana makna kemerdekaan benar-benar dirasakan masyarakat di akar rumput.


Refleksi kemerdekaan ke-80 di NTT tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial ekonomi. Meski ada kemajuan signifikan, tantangan masih besar.


1. Kemiskinan Struktural


Tingkat kemiskinan di NTT masih salah satu yang tertinggi di Indonesia. Banyak keluarga yang hidup dari pertanian subsisten, bergantung pada musim hujan, dan rentan gagal panen. Ketahanan pangan masih menjadi masalah serius.


2. Pendidikan dan Generasi Muda


Kualitas pendidikan masih menghadapi tantangan. Banyak sekolah yang kekurangan guru, sarana prasarana terbatas, dan akses ke perguruan tinggi relatif sulit. Padahal, generasi muda NTT, termasuk di Malaka, memiliki potensi besar yang harus didukung.


3. Kesehatan dan Akses Layanan Dasar


Kasus gizi buruk, stunting, serta terbatasnya fasilitas kesehatan masih menjadi sorotan. Kemerdekaan harus berarti hadirnya layanan kesehatan yang memadai bagi seluruh rakyat.


4. Infrastruktur dan Konektivitas


Banyak desa di NTT yang masih terisolasi karena akses jalan rusak atau sulit dijangkau. Bagi masyarakat Malaka, infrastruktur menjadi kunci untuk membuka peluang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.


Sebagai wilayah perbatasan dengan Timor Leste, Malaka memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan NKRI. Namun ironisnya, wilayah perbatasan sering kali justru tertinggal dalam pembangunan. Padahal, seharusnya daerah perbatasan menjadi “etalase” negara.


Di Malaka, tantangan pembangunan masih terasa:


1. Infrastruktur Jalan : banyak akses antar desa masih rusak atau sulit dilewati.


2. Pertanian : meski memiliki lahan subur, masih minim teknologi dan dukungan irigasi.


3. Ekonomi Rakyat : masih bertumpu pada pertanian tradisional tanpa nilai tambah yang tinggi.


4. Kebudayaan : kaya tradisi dan kearifan lokal, namun belum optimal diangkat menjadi kekuatan ekonomi kreatif dan pariwisata.


5. Generasi Muda : banyak anak muda Malaka merantau ke luar daerah karena minimnya lapangan kerja.


Refleksi kemerdekaan di Malaka berarti mendorong hadirnya negara lebih nyata, bukan hanya dalam bentuk perbatasan yang dijaga aparat, tetapi juga dalam kesejahteraan masyarakat.


Delapan dekade setelah proklamasi, bangsa ini patut berbangga. Namun, kebanggaan itu tidak boleh melupakan tanggung jawab besar yang masih ada. Refleksi kemerdekaan berarti berani mengakui masih ada ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, antara Jawa dan luar Jawa, antara kota besar dan pedalaman, antara Malaka dan Jakarta.


Kemerdekaan seharusnya tidak berhenti pada upacara bendera, parade, atau lomba rakyat. Kemerdekaan sejati adalah hadirnya rasa adil, kesempatan yang setara, dan harapan hidup yang lebih baik bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali.


Untuk mewujudkan makna kemerdekaan yang lebih nyata di wilayah NTT dan terkhususnya Malaka, ada beberapa langkah reflektif yang perlu didorong:


1. Pemerataan Pembangunan


Pembangunan tidak boleh lagi terpusat di kota besar. Daerah-daerah pinggiran, perbatasan, dan kepulauan harus mendapat prioritas.


2. Penguatan Ekonomi Rakyat


Pertanian, peternakan, dan perikanan di NTT perlu diberi nilai tambah dengan teknologi, akses pasar, dan dukungan modal.


3. Pendidikan Berkualitas


Investasi terbesar bangsa adalah pendidikan. NTT butuh lebih banyak guru berkualitas, fasilitas pendidikan, dan akses ke beasiswa.


4. Kesehatan dan Gizi


Stunting dan gizi buruk harus menjadi fokus utama agar generasi muda NTT bisa tumbuh sehat dan cerdas.


5. Pemberdayaan Budaya dan Pariwisata


Budaya dan kearifan lokal harus dijadikan kekuatan ekonomi kreatif yang dapat mengangkat martabat daerah.


6. Penguatan Peran Daerah Perbatasan


Malaka harus dilihat sebagai pintu gerbang, bukan halaman belakang. Pembangunan di perbatasan adalah strategi pertahanan sekaligus diplomasi.


Refleksi kemerdekaan ke-80 di NTT dan Malaka mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah proses, bukan tujuan akhir. 80 tahun yang lalu, bangsa ini merebut kemerdekaan dari penjajah. Kini, tantangan kita adalah merebut kesejahteraan dari kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan.


Masyarakat NTT, termasuk di Malaka, punya semangat juang yang luar biasa. Sejarah membuktikan bahwa dari tanah yang keras bisa lahir manusia tangguh. Namun, semangat itu butuh didukung oleh hadirnya negara dalam bentuk nyata: pembangunan yang adil, akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.


Ketika setiap anak di Malaka bisa bersekolah dengan layak, setiap keluarga di NTT bisa makan cukup, setiap desa bisa terhubung dengan infrastruktur memadai, maka pada saat itu kita bisa berkata: kemerdekaan yang ke-80 bukan hanya perayaan, melainkan kenyataan.


Penulis: Pemuda Asal Malaka Yanuarius Bere Helo, S. Ak