![]() |
Alhadi Ulumando |
MATALINENEWS.ONLINE- Fase Perkembangan Manusia Suda bertransformasi menuju zaman posmodernisme, di tandai dengan cara berpikir individulistik, Kapitalisasi serta perkembangan informasi iptek yang begitu cepat. Di samping menawarkan kenikmatan dan kemudahan hidup, gerap membuahkan praktek dehumanisasi.
Banyaknya manusia seolah kehilangan kemanusian serta praktek kerusakan alam yang merajalela di negeri ini sehingga hilangkan nilai kefitraan sebagai manusuia. Kita berbicara soal hubungan alam semesta (makrokosmos) dengan manusia (mikrokosmos) adalah sala satu dimensi sosial kemanusian yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi sosial.
Sering kali manusia tidak memahami dirinya sehingga ia melakukan tindakan eksploitasi terhadap alam bahkan manusia sehingga menimbulkan ketidak aturan Sosial dalam hubungan interaksi dan reaksi manusia dengan alam semesta bahkan masyarakat di alam sekitar.
Inilah potret Fenomomena masyarakat moderen yang konon semakin moderen namun prilaku dan tindakannya tidak mencerminkan masyarakat yang paripurna.
Meminjam bahasa Ibnu khaldum dalam bukunya "Mukadimmah" ia mengatakan bahwa masa kejaan dan keruntuhan suatu peradaban yang Nomoden atau bar bar yang beliau sebut sebagai konsep badawa. Menurut Ibnu khaldum juga membawa kehidupan bermewah mewah serta bermegahan pasti membawa kehancuran. Begitu pula dengan kondisi sosiologis masyarakat baranusa.
Secara sosilogis masyarakat Baranusa memiliki nilai soslocultural yang mengikat masyarakat dalam satu tatanan sosial kehidupan yang hermonis. Nilai tersebut adalah "onong danga alang" (Satu Hati satu satu suara) taing tou, ateng tou, wurang tou, (kesolidan masyarakat Baranusa)
Kuli mate mate aki tiwang lawo (semangat patriotisme masyarakat Baranusa akan cinta kampung halaman), bote biti lawo narang (semangat dan tekad membangun, mempertahankan nama baik Baranusa), Piling tang ro dike lelang tang ro alus ( tekad dan semangat membangun kampung halaman) inilah beberapa bahasa agutasi yang dipesan leluhur. Namun berjalan Rotasi waktu, nilai- nilai tersebut seakan di lupakan generasi melineal dan masyarakat Baranusa seakan sirna di telan zaman.
Pesan moral leluhur haruslah senantiasa termanivestasi dalam pola pikir, pola tindak, dan pola laku disetiap individu di manapun dan kapanpun sebagai nilai humanisme masyarakat Baranusa yang menjadi pesan untuk generasi muda di manapun dan kapanpun ia berada sebaagai sebagai landasan etis Masyarakat baranusa.
Masyarakat yang beradap serta merevolusi moral etis yg mereduksi secarah utuh sesuai pesan leluhur. Dari sinilah Insya-Allah tantangan zaman postomoder bisa kita meminimalisir dan beradaptasi tanpa menipis pesan filosofis tersebut.
Seperti kata pakar Sosiologi yakni peter L. Berger dalam bukunya Langit Suci ( Agama sebagai Realitas Sosial) beliau katakan bahwa nilai budaya sebagai kontrol sosial untuk masyarakat dalam menghadapi maraknya perkembangan zaman posmodernisme. Dan takala pentingnya juga nilai nilai tersebut senantiasya harus dibumikan oleh generasi muda bukan hanya pada momentum 01 Syawal (Lebaran) ulang tahun Baranusa dll, namun harus di trasformasikan kepada generasi muda bahkan anak cucu mendatang. Sehingga nilai humanisme dan masyarakat baranusa tak muda digiring oleh rotasi perkembangan zaman posmodernisme saat ini.
Sebelum mengakhiri narasi singkat ini penulis memberi masukan konstruktif kepada pemerintah daerah atau lembaga adat Baranusa untuk menghadirkan sebuah buku dalam sistem pendidikan lokal kita. Sehingga tercatat sebagai media sejarah di negeri ini, sebagai media publik dan masyarakat mengetahui butul tata sosial kehidupan masyarakat baranusa serta satu legenda sejarah yang tak akan Hilang di telan zaman.
Disini penulis beroptimis bahwa nilai nilai Baranusa bukan hanya di paham secara teoritis namun bisa termanivestasikan dalam sanubari generasi muda Baranusa.
Penulis : Alhadi Ulumando, S.Pd (Ketua Umum SPPB)
Penyunting: Fathur