![]() |
"Reuni Akbar Kalikur Mantapkan Solidaritas Insaniah dalam Bingkai Wathaniah"
Oleh: Sudarjo Abd. Hamid, S.Pdi, M.Pd, C.Pim.
Reuni biasanya dilakukan dengan teman angkatan sekelas pada zaman masih sekolah. Kegiatan yang dilakukan dengan teman angkatan, sekelas pada zaman masih sekolah. Kegiatan yang di lakukan peserta reuni tidak lepas dari mengingat kembali atau bernostalgia tentang hari-hari sekolah mereka dulu, dengan detail mengingat teman teman yang agak nakal dan bercerita tentang apa yang terjadi dengan masing-masing mereka sejak berpisah dan terpencar-pencar. Kehidupan yang berjalan membuat setiap orang memiliki nasib yang berbeda-beda. Hal tersebut kadang menjadi perbincangan dan topic yang hangat saat reuni. Reuni bukan sekedar kumpul-kumpul tanpa tujuan. Ada manfaat yang tak terduga dari kegiatan kumpul bareng teman lama.
Solidaritas insaniah (Hablumminanaas), atau membaur jadi satu atau dalam bahasa Kedang di kenal dengan nama “Pohing Ling Holo Wali, Baraq Reiq Bare, Ahaq Reiq Tete” adalah pilar utama dalam proses membangun peradaban yang berkeadilan dan beradab. Ia adalah semangat yang mendorong kita untuk peduli (Kelen Weq), berbagi, (Sorong Nateng ) dan bahu-membahu (Mader Hama) mengatasi berbagai tantangan hidup. Solidaritas ini melampaui batas-batas suku, agama, ras, dan golongan, karena berakar pada kesadaran bahwa kita semua adalah bagian dari satu keluarga besar manusia.
Dalam konteks wathaniyah, atau semangat kebangsaan (Leu Udeq Auq Ehaq ) perlu di wujudkan dan kita wariskan kepada seluruh generasi berikutnya, karena mencintai tanah air adalah sebagian dari iman. Wathaniyah bukan hanya sekadar cinta tanah air ( Hubul Wathan), tetapi juga komitmen untuk membangun bangsa yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh warganya. Semangat wathaniyah yang sejati haruslah dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Ia harus mampu merangkul perbedaan, menghargai hak-hak setiap individu, dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Desa Kalikur Kecamatan Buyasuri Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur, telah merilis kegiatan reuni akbar se-Indonesia, yang kabarnya akan terjadi sekitar tanggal 12 hingga 14 Juni mendatang. Mengusung tema Silaturahmi Akbar Keluarga Besar Kelikur Se-Indonesia 2025 Spirit Kejayaan Masa Lalu, Untuk Masa Depan, Ke Kalikur Kita Kembali. Ada pun sajian kegiatan yang penuh menggema berupa carnaval Nusantara, Pergelaran Kesenian, Pameran dan Galeri Foto Sejarah, Wisata Budaya,, Relegi dan Sejarah serta Aksi Sosial lainnya. Tentu genderang ini telah terkabar setiap kuping hingga pelosok, sebagai tanda bahwa hajatan ini benar – benar menyita perhatian seluruh pasang mata, penghuni Uyelewun. Reuni ini menyimpan banyak hal dari sisi manfaat, selain mweujudkan solidaritas insaniah antar sesama warga Kalikur, namun juga bingkai pemersatu dalam mewujudkan persatuan dalam berwathaniyah.
Likur Lama Koma (Kalikur) oleh penulis adalah lumbung para mubaligh dan mubaligah, begitupun oleh Barnes Kalikur adalah Kota Pelabuhan, pusat pemerintah, serta central pengembangan lembaga pendidikan serta rutinitas kegiatan keagamaan seputaran Kedang di masa silam, sekaligus menjadi icon peradaban. Karena selain menjadi pusat perkembangan Islam, Desa ini pun memiliki tiga lembaga (Satuan Kerja) Negeri Kementrian Agama, sebut saja MIN 2 Lembata, MTSN I Lembata dan MAN Lembata. Ini semua menjadi lokomotif untuk menuai intelektual muda masa mendatang. Dari sisi historis Kalikur telah terbuka lama dari kehidupan sosial, karena interaksi terhadap dunia luar, melalui perdagangan, oleh para niagawan lokal maupun luar daerah. Sehingga tidak di pungkiri, kalikur menjadi tolak ukur secara IPTEK dan IMTAQ untuk yang lain.
Pada sisi geografis, kalikur adalah tempat gersang dan berbatu, namun di sulap begitu anggun dan menakjubkan oleh tangan handal penduuduk setempat. Bila bersafari kesana tentu kita dapatkan fasilitas megah, serta hunian penduduk yang mentereng, padahal sebagaian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, semua penduduk beragama Islam. Hal ini di karenakan didikan alam, memaksa penduduk begitu kuat memulai usaha usaha sampingan, berupa proses pembuatan tenun/kain “Buhu Lelu Tueng Ape”, yang berjalan hingga hari ini dan di wariskan kepada generasi berikutnya.
Reunian akbar yang terjadi pasca idul adha jatah MTSN I Lembata tahun ini, menjadi sebuah momentum penting, karena akan mengumpukan seluruh orang Kalikur yang telah lama bertugas/menetap di tempat lain. Hal ini tentunya penyebaran orang Kalikur setiap Desa di Kedang, akan sigap menyukseskan reunian ini, apalagi mereka yang telah beranak pinak di luar kabupaten/provinsi bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, akan kembali ke tanah tumpah darah mereka, untuk bersilaturahmi dan menguraikan silsilah sehingga semua saling kenal dan tau akan hakikat dari pada “Leu Auq Taping Bale, Niong Wau Peler Alen, Tutuq Toyeq Kahin Panang, Reiq Adan Te Wau Anaq”. Konsep sejatin para penggagas adalah, bagaimana mempersatukan orang Kalikur, kemudian memformulasikan gagasan cemerlang untuk terus meciptakan keterlibatan dalam membangun Kalikur pada kususnya dan Lembata pada umumnya.
Ini adalah solidaritas terbesar di Kedang musim ini, memupuk persaudaraan sesama orang Kalikur kemudian membingkai dalam persatuan dan kesatuan Bangsa. Tentunya acara ini tidak sekedar hadir dan mengikuti seremonial semata, namun lebih dari itu yakni membangun psikologi kesamaan, dalam laboratorium dakwah, serta lokomotif pergerak Islam dari Kalikur untuk Lembata dan Indonesia. Agenda ini mempertajam alur fikiran kita bahwa kampung (Leu) ini, telah menciptakan ribuan generasi pewaris estafet dakwah, niaga dan sosial lainnya, terus maju dan berdiaspora di berbagai elemen kehidupan, sekaligus mejadi lilin sejati untuk menerangi cahaya dan kemaslahatan ummat.
Kalikur bukan saja (kultural basic) secara tradisi dan relegius, namun aspek ekonomi cukup menjadi pelengkap, sehingga menjadikan Kalikur maju dan terus berkembang, dan terkenal dengan peradaban islam berupa “Likur Leleng Saboq, Kuriq Paras Euq Wau Louq Lei” berpadu padan dalam kelengkapan, selalu hadir gerakan-gerakan kekinian, yang terus bergelora riwayat kenabian, serta pemahaman budaya yang kompleks, dalam menunaikan amanah leluhur yang relegius, genius, estetika, berbudi luhur dan bermoderasi. Khazanah keislaman pesat berkembang oleh sejarah kubur buyaq sagu wowo, yang tak hilang dalam sejarah, masjid besar Raudhatul Jannah menjadi taman surga pendahulu dan kebanggaan ummat, gapura bertuliskkan “Kiki Bako Leki Bako “ adalah gerbang memasuki semesta karomah sejak ratusan tahun silam, begutupun Rumah bersama Huna Kantor, untuk ” Oni Wuwun Ha’a Emi Ribu Ratu” semuanya untuk “suku pitu lelang leme, pahe lipu peka Kaleq”.
Kalikur bukan saja (kultural basic) secara tradisi dan relegius, namun aspek ekonomi cukup menjadi pelengkap, sehingga menjadikan Kalikur maju dan terus berkembang, dan terkenal dengan peradaban islam berupa “Likur Leleng Saboq, Kuriq Paras Euq Wau Louq Lei” berpadu padan dalam kelengkapan, selalu hadir gerakan-gerakan kekinian, yang terus bergelora riwayat kenabian, serta pemahaman budaya yang kompleks, dalam menunaikan amanah leluhur yang relegius, genius, estetika, berbudi luhur dan bermoderasi. Khazanah keislaman pesat berkembang oleh sejarah kubur buyaq sagu wowo, yang tak hilang dalam sejarah, masjid besar Raudhatul Jannah menjadi taman surga pendahulu dan kebanggaan ummat, gapura bertuliskkan “Kiki Bako Leki Bako “ adalah gerbang memasuki semesta karomah sejak ratusan tahun silam, begutupun Rumah bersama Huna Kantor, untuk ” Oni Wuwun Ha’a Emi Ribu Ratu” semuanya untuk “suku pitu lelang leme, pahe lipu peka Kaleq”.
Membangun solidaritas insaniah dalam bingkai wathaniyah bukanlah tugas yang mudah. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, pendidikan yang inklusif, serta kepemimpinan yang adil dan berwawasan. Kita perlu terus-menerus mengasah empati, memperkuat rasa persaudaraan, dan melawan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi. Hanya dengan begitu, kita dapat mewujudkan cita-cita luhur bangsa, yaitu masyarakat yang adil, makmur, dan beradab.
Semoga dengan reuni akbar ini, mampu menyatukan perbedaan dan membangun Leu Aliur dengan jiwa yang sama, agar senantiasa di berkahi dan mewujudkan Baldatun Tayyibatun Warrabun Gafur.
Catatan : Penulis mengutip beberapa tulisan untuk memenuhi opini ini adalah (kumparan ://kumparan.com), dan (Wikipedia, https://id.wikipedia.org).
BIODATA PENULIS.
Sudarjo Abd. Hamid. Lahir di Leubatang Lembata, 18 April 1982, merupakan ASN Pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, saat ini sebagai Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar Inpres Walangsawa Kecamatan Omesuri. Menyelesaikan studi SI Fakultas Agama Islam Jurusan Tarbiyah Prodi PAI Universitas Muhammadiyah Kupang tahun 2006, menyelesaikan studi S2 Magister Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2025. Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh gelar non akademik Certified Penulis Indonesia Maju (C.PIM ). Dalam dunia literasi Penulis pun telah mendirikan Taman Baca Masyarakat (TBM) Abdul Hamid Gilo Mutiara, selain itu bergabung dalam Komunitas Penulis Lembata, dan Komunitas Galeri Sastra dan juga Netra Pena. Penulis juga selain beberapa kegiatan diatas, ia juga adalah jurnalis media online Matalinenews. Ia juga telah menghasilkan beberapa buku bersama dan satu buku solo berjudul Goresan Syair Dari Negeri Ikan Paus. Selain buku ia juga sebagai pencipta lagu yang telah beredar di media sosial , yang berjudul Kampus Biru, yang di nyanyikan oleh Emphy Leuape.