![]() |
Oleh. Baharudin Hamzah. M,Si |
MATALINENEWS-com Sejak Pemerintah dan DPR, serta KPU, Bawaslu serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menyepakati pemilihan umum serentak akan dilaksanakan tahun 2024, diskursus mengenai peluang, tantangan, harapan agar pemilu dan pemilihan serentak berjalan sukses dan berintegritas dalam berbagai perspektif terus menggelinding di ruang-ruang public. Diskusi baik terbatas maupun terbuka, di ruang- ruang formal sampai warung kopi mulai menghangat, Terutama penyelenggara pemilu termasuk bawaslu sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu yang dimandatkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 untuk mengawasi pemilu terus melakukan berbagai persiapan, mulai dari regulasi teknis. dukungan sumberdaya termasuk alokasi pembiayaan pengawasan tahapan dua rezim pemilu yang Panjang itu.
Berbicara mengenai
pengawasan pemilu, tak bisa lepas dari peran sentral pengawas pemilu itu
sendiri. Pertanyaan menggelitik yang sering dilontarkan adalah mengapa pengawas
pemilu diperlukan atau mengapa pemilu harus diawasi?. Sebagai sebuah negara demokrasi
terbesar di dunia, para pendiri bangsa (founding father ) telah berkonsensus
bahwa pemilu menjadi satu-satunya instrumen demokrasi yang dipilihkan hingga
kini, untuk peralihan kekuasaan secara konstitusional dengan siklus lima
tahunan.
Dalam konteks pemilu
yang demokratis, jujur dan berintegritas bagi pembentuk undang-undang, apabila
dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang berintegritas, profesional dan
akuntabilitas seturut asas penyelenggara pemilu. Kehadiran pengawas pemilu
diperlukan agar setiap pelanggaran pemilu atau pemilihan dapat dicegah seiring
dengan kehadiran lembaga pengawas pemilu yang diberi wewenang khusus untuk
mengawasi sekaligus menegakan hukum pemilu. Menurut Nurhidayat Sardini dalam
bukunya Kepemimpinan Pengawasan Pemilu mengatakan, pemilu memerlukan pengawasan
pemilu. Dalam rangka menjamin kualitas proses dan hasil-hasil pemilu. Tak lain
semata-mata agar kompleksitas penyelenggaraan pemilu tidak bergeser dari
tujuan-tujuan demokrasi. Dengan pengawasan pemilu, hasil pemilu yang diharapkan
akan menjangkau kerangka perolehan dukungan sebesar-besarnya (legitimate) dari
rakyat pemilih.
Secara konstitusi,
untuk menyelenggarakan pemilu dan pemilihan, ada tiga institusi penyelenggara
yang telah dibentuk berdasarkan mandat terakhir Undang-Undang Nomor 7 tahun
2017 yaitu Komisi Pemilihan Umum dengan tugas dan wewenangnya sebagai
penyelenggara teknis, Bawaslu dengan tugas dan wewenangnya untuk mengawasi,
serta Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai lembaga pengawal etik dan
moral penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) bersama jajarannya sampai pada
level penyelenggara adhock di tingkat tempat pemungutan Suara.
Ketika kita berbicara tentang pemilu dan
pemilihan serentak tahun 2024, maka pikiran kita kemudian membayangkan berbagai
kerumitan teknis tata kelola pemilu. Ini pemilu serentak nasional pertama dan
mungkin terbesar di dunia. Karena selain puncak hari pungut hitung di tahun
yang sama, juga seluruh tahapan baik pemilu dan pemilihan serentak berlangsung
dalam interval waktu yang Panjang dan beririsan antara pemilu dan pemilihan
kepala daerah. Dalam konteks ini, faktor sumberdaya manusia sebagai salah satu
komponen esensial sekaligus garda terdepan yang menopang tercapainya tujuan organisasi
penyelenggaraan pemilu harus menjadi konsern untuk dipersiapkan, karena begitu
kompleksnya tantangan pelaksanaan pemilu serentak 2024. Sebagai provinsi dengan
gugusan pulau-pulau, Nusa Tenggara Timur memiliki tantangan tersendiri dalam
mendesain sumberdaya manusia untuk penyelengaraan pemilu serentak 2024.
Komplikasi persoalan
sumberdaya manusia itu setidaknya teridentifikasi beberapa hal : pertama,
factor geografis, termasuk musim puncak pungut hitung berada di bulan Pebruari
yang biasanya musim hujan dan angin . Kedua, distribusi dan sebaran sumberdaya
manusia yang memiliki kualifikasi pendidikan tertentu tidak merata antara satu
daerah dengan daerah lain. Ketiga, adanya perebutan sumberdaya manusia antara
stakeholder pemilu. Keempat, pengawasan ditengah badai Covid 19. Makhluk
‘halus’ berukuran mikron itu menargetkan panen kematian juga menjadi persoalan
tersendiri bagi penyelenggara pemilu yang hingga kini belum juga usai. Karena
hampir seluruh tahapan pemilu ritusnya melibatkan banyak orang di ruang publik
dan rentan terhadap kontak fisik.
Bagi Bawaslu, iven
pemilu atau pemilihan menyedot sumberdaya manusia yang tidak sedikit selain
anggaran. kesiapan sumberdaya manusia itu penting dari jauh-jauh hari, untuk
menguatkan jaringan struktur anatomi organisasinya sampei ke level pengawas
TPS, KPU juga demikian halnya bahkan dua kali lipat dari kebutuhan Bawaslu
untuk membantu tugas-tugas teknis penyelenggaraan seluruh tahapan di level
kecamatan sampai TPS, termasuk Pantarlih.
Partai politik juga
merekrut sebanyaknnya saksi di seluruh tingkatan, tim kampanye, relawan, tim
sukses atau apapun namanya di setiap titik. Pemantau pemilu serta organisasi
lembaga survei, Linmas. Singkatnya semua stakeholders pemilu membutuhkan
alokasi sumberdaya yang tidak sedikit jumlahnya. Sementara itu untuk
menghadirkan pengawas pemilu selain harus memiliki kualifikasi Pendidikan yang
telah dipersyaratkan baku sesuai norma, juga setidaknya memiliki pengalaman
atau rekam jejak sebagai penyelenggara pemilu, entah di level mana saja. Satu
hal yang pasti syarat inparsialitas (non partisan) calon adalah kemutlakan
untuk menjamin kontestasi politik pemilu berlangsung secara berintegritas, adil
dan berkepastian hukum.
Bawaslu NTT memiliki
pengalaman dalam proses rekruitmen sumberdaya manusia pengawas pemilu adhock
yang jumlahnya mencapai ribuan orang itu pada penyelenggaraan pemilu 2019 lalu.
Sebaran penyelenggara pemilu di 22 kabupaten/Kota 309 kecamatan dan 3353
desa/kel serta 14.978 Tempat Pemungutan Suara dengan total pemilih 3.391.616
orang terdiri dari laki-laki 1.668.211 dan perempuan 1.723.405 pemilih bukan
hal yang mudah. Problem umum adalah kualifikasi pedidikan dan umur untuk level
pengawas kelurahan/desa dan pengawas TPS. Selama masa pendaftaran ada yang
tidak ada pendaftarnya, lalu diperpanjang pengumumannya.
Persoalan klasik yang sering dihadapi dalam
rekruitmen adalah keterbatasan sumberdaya manusia yang berkualifikasi, baik
umur maupun ijazah. Ini berbeda dengan kebutuhan sumberdaya manusia stakeholder
pemilu lain seperti partai politik. Penyelenggara pemilu memiliki standar baku
dalam syarat calon yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Karena alokasi
kebutuhan sumberdaya manusia yang begitu besar untuk mencarinya tidak mudah,
ibarat menjari jarum dalam sekam, karena tidak semua desa/kelurahan memiliki
stok sumberdaya manusia yang memiliki kualifikasi dimaksud. Karena itu
hendaknya sejak dini perlu pemetaan di setiap kabupaten/kota soal ‘kelangkaan;
manusia berkualifikasi ini.
Untuk mengatasi
kelangkaan sumberdaya pengawas dilevel ini.Bawaslu kemudian mencari alternatif
dengan beberapa opsi penyelesaiannya yakni, mempeluas syarat domisili wilayah
administratif calon yang tidak hanya terbatas dari dalam wilayah administratif
desa/kelurahan setempat, namun desa/kelurahan terdekat sepanjang masih dalam
satu wilayah administrasi kecamatan yang sama dan mendapat persetujuan calon.
Jika opsi ini juga tidak terpenuhi, maka pengawasan akan di take over oleh staf
dan komisioner dilevel kecamatan. Demikian juga syarat formil dan materil
pendaftaran calon, dipermudah tanpa menghilangkan substansi sesuai norma
Undang-undang yang ada.
Lantas seperti apa profil pengawas pemilu
kedepan, mengingat kompleksnya tantangan yang dihadapi. Dari aspek ketersediaan
sumberdaya manusia yang pasti dibutuhkan pengawas pemilu yang berkarakter,
berintegritas dan memiliki kapasitas yang memadai, profesional sesuai asas
penyelenggara pemilu. Seperti kita ketahui, interval waktu pelaksanaan tahapan
pemilu serentak 2024 berlangsung dalam ruang waktu yang Panjang. Jika tahapan
sudah dimulai bulan Januari tahun 2022, maka tahapan pemilu serentak
berlangsung selama 26 bulan. Tahapan yang Panjang menjadi tantangan tersediri
bagi jajaran penyelenggara pemilu adhock, selain dibutuhkan kesiapan skill
pengawasan, juga pengendalian internal yang harus lebih kuat untuk memastikan
integritas jajaran adhock tetap terjaga dan tidak ‘tergadai’.
Satu hal yang juga tak
kalah pentingnya adalah syarat kesehatan yang tidak hanya formal administratif,
namun harus ada pemeriksaan medis scara faktual yang terukur untuk memastikan
kondisi Kesehatan jajaran penyelenggara adhock. Kita belajar dari gugurnya
ratusan penyelenggara pemilu di tahun 2019. Apalagi seluruh tahapan pemilu
masih dalam suasana bencana non alam Covid 19. Dan untuk memastikan pengawasan
pemilu yang berkualitas, maka selain integritas penyelenggara pemilu
(pengawas,red) yang dituntut public, juga hak-hak yang melekat dalam tugas dan
kewajiban jajaran pengawas adhock juga mesti seimbang. Dalam praktiknya selama
ini, penghargaan terhadap kinerja jajaran penyelenggara pemilu di level adhock
masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan tugas, beban dan tanggungjawab
yang diemban. Apalagi tantangan wilayah geografis NTT yang luas dan berpulau
menjadi persoalan tersendiri bagi penyelenggara pemilu adhock dalam melakukan
tugas-tugas pengawasan.
Berdasarkan skenario
yang di desain KPU, hari pemungutan suara untuk pemilu serentak 2024 Rabu 24
Pebruari 2024. Sedangkan hari pemungutan suara pemilihan Rabu 27 November 2024.
Puncak tahapan pemungutan suara pemilu secara specific bagi masyarakat NTT
masih dalam cuaca musim hujan yang juga menjadi problematika sendiri. Dalam
desain program tahapan dan jadwal, tahapan pemilu serentak 2024 dan penjelasan
Komisi II DPR, tahapan akan dimulai Januari 2022, artinya kesiapan sumberdaya
manusia pengawasan pemilu terutama organ adhok sudah mesti di ancang-ancang
dari sekarang. Pemetaan kebutuhan, profil penyelenggara (pengawas pemilu)
adhock serta berbagai persoalan ikutan yang selama ini mewarnai proses
rekruitmen sudah mesti disiapkan jalan keluarnya.
Sementara itu dilevel
provinsi fase pertama transisi komisioner pun terjadi di tahun 2022. Tiga
komisioner purna tugas 20 September 2022 di saat tahapan pemilu serentak sedang
bergulir. Kondisi ini tentu berimplikasi terhadap kinerja jajaran pengawas
pemilu di level provinsi, terutama para ‘petahana’ yang hendak bertarung lagi
untuk periode kedua, ikut mempersiapkan diri. disaat yang sama sedang mengawasi
tahapan pemilu serentak. Termasuk di level sekretariat bawaslu Provinsi. Ada
sejumlah sumberdaya yang harus diperbantukan di markas Tim seleksi. Pada saat
yang sama sekretariat bawaslu Provinsi masih kekurangan sumberdaya manusia.
Transisi kepemimpinan komisioner kolektif ‘kloter pertama’ ditengah tahapan
pemilu yang sedang bergulir setidaknya berdampak terhadap dinamika kelembagaan,
kualitas dan hasil pengawasan. Lebih dari itu dibutuhkan biaya yang besar untuk
proses seleksi calon anggota bawaslu Provinsi saat tahapan sedang bergulir dan
kondisi keuangan negara sedang terkuras akibat wabah pandemic covid 19 yang
menyedot anggaran negara di kementerian dan Lembaga triliunan rupiah.
Secara historis dapat
dijelaskan bahwa, kepemimpinan Komisoner di Bawaslu Provisi se Indonesia ini
berlangsung dalam dua fase, karena pembentukan bawaslu Provinsi periode
2018-2022 masih merujuk kepada Undang-Undang nomor 15 tahun 2011, terutama
berkaitan dengan pasal Jumlah anggota bawaslu di tingkat Provinsi masih tiga
orang. Dalam proses bersamaan itu kemudian pembentuk Undang-undang melakukan
perubahan dan pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang
menetapkan komposisi jumlah anggota bawaslu di tingkat Provinsi menjadi lima
dan tujuh orang, sedangkan dilevel Kabupaten/Kota yang sebelumnya adhock menjadi
Lembaga permanen dengan masa jabatan 5 tahun.
Seiring dengan berjalannya waktu, bawaslu
kemudian melakukan penyesuaian jumlah keanggotaan bawaslu di tingkat provinsi
sesuai UU No 7 tahun 2017, dan berproses melalui tim seleksi, akhirnya Provinsi
dengan jumlah anggota lima orang memperoleh tambahan dua anggota dan provinsi
dengan jumlah komisionernya tujuh orang mendapat tambahan empat komisioner dan
dilantik pada 23 Juli 2018 dengan periodesasi 2018-2023.
Dengan demikian terjadi
variasi akhir masa jabatan di bawaslu Provinsi. Kondisi ini bisa dihindari
manakala Pembentuk Undang-Undang mau merevisi UU nomor 7 tahun 2017 dengan
skenario, penyesuaian masa jabatan anggota bawaslu Provinsi, apakah diperpendek
masa jabatan untuk anggota tambahan sebagai konsekwensi dari penyesuaian UU No
7 tahun 2017 atau memperpanjang masa jabatan komisioner yang dibentuk dengan UU
No 15 tahun 2011. Namun kondisi ini tidak terjadi, rencana revisi UU kandas
oleh pembentuk UU.Perdebatan soal revisi undang-undang pemilu pun sirna seiring
sikap DPR dan pemerintah yang menolak revisi UU pemilu Nomor 7 tahun 2017.
Realitas ini jika tidak diwadahi secara baik bisa menimbulkan trubulensi
kelembagaan jika dalam proses seleksi timbul berbagai persoalan.sehingga proses
akhir masa jabatan komisioner bawaslu Provinsi akan berlangsung dalam dua
gelombang. Diperlukan pertimbangan yang matang para pembentuk undang-undang.
Namun apapun
tantangannya, pemilu serentak tetap di gelar 2024, dan Indonesia telah
berpengalaman dalam menggelar pemilu dan pemilihan. Lompatan yang luar biasa
dalam proses konsolidasi demokrasi di negeri ini telah terlewati. Bahwa proses
konsolidasi demokrasi masih dinilai banyak pihak masih prosedural disatu sisi,
dan belum menyentuh aspek substantif di sisi yang lain. Namun tak perlu
pesimis. Karena itu membangun narasi pesimis adalah kemunduran. Yang mesti
dilakukan adalah membangun harapan dengan narasi positif agar proses
konsolidasi demokrasi ini berlangsung secara demokratis, berintegritas, damai
serta memproduksi para pemimpin yang berwajah melayani untuk kesejahteraan
rakyat. Karena salah satu hakekat demokrasi adalah tercapainya keadilan dan
kesejahteraan rakyat dalam bingkai payung teduh NKRI. Teriring Salam Awas !
Penulis : Baharudin Hamzah